Senin, 09 Juni 2008

Dephan Jangan Urus Pertahanan Bela Negara Nirmiliter

03/09/07 03:10

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di DPR RI, Andreas H Pareira, menyatakan bahwa Departemen Pertahanan (Dephan) RI seyogianya jangan mencampuri urusan pertahanan bela negara nirmiliter.

"Itu khan menyangkut kesadaran bela negara. Dan yang begini bukan urusan Departemen Pertahanan," katanya kepada ANTARA News melalui hubungan per telepon seluler (ponsel)-nya, Senin.

Andreas Pareira meminta Dephan lebih berkonsentrasi kepada dua aspek pokok, yakni pembangunan strategi militer dan kualitas TNI yang profesional.

"Tetapi juga yang sangat penting diperhatikan bersama-sama dua aspek itu, ialah pengembangan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang handal sesuai dengan tantangan geo politik Indonesia," kata anggota legislatif dari daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat ini.

Ditanya lembaga atau departemen mana yang lebih layak menangani urusan program bela negara, Andreas Pareira menunjuk Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

"Urusan program bela negara melalui pembangunan kesadaran berbangsa, sebaiknya diserahkan kepada Lemhanas. Juga Departemen Pendidikan Nasional (Depdikas) bisa dilibatkan, karena menyangkut pembentukan karakter dari sumber daya manusia," katanya lagi.

Andreas Pareira juga mengingatkan, agar penanganan program bela negara nirmiliter jangan dianggap enteng.

"Negara sebesar Amerika Serikat maupun Rusia pun tetap menjadikan hal ini bagian strategis dari pembinaan kebangsaan mereka," katanya menambahkan. (*)

COPYRIGHT © 2007

Forum Itu Akhirnya Terbentuk

Di tengah suasana kangen-kangenan antara mantan anggota Menwa Mahasurya yang pernah dikomandani oleh Brigjen (Purn) Heru Sudibyo seluruh yang hadir dari berbagai wilayah Propinsi Jawa Timur hari Sabtu (7 Juni 2008) itu mendeklarasikan pembentukan forum yang diberi nama Forum Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Nama forum ini memang tidak menggunakan kata "komunikasi" karena menurut beberapa teman yang mengusulkan setelah didiskusikan penggunaan kata "komunikasi" kurang mengena dan dikhawatirkan hanya sekedar menjadi ajang komunikasi atau omong-omong semata. Namun, menurut hemat kami, ada atau tidak ada kata 'komunikasi" sebenarnya yang terpenting adalah bagaimana forum itu berfungsi dan mampu memberikan kontribusi dan pencerahan terutama kepada semua anggotanya dan masyarakat luas.
Yang hadir dalam acara itu memang bukan saja dari mantan anggota Menwa, ternyata juga dihadiri oleh sejumlah anggota Menwa dari beberapa perguruan tinggi, bahkan dari kalangan lain seperti tentara dan polisi, banser, bala keselamatan, pramuka, dan lain-lain bahkan beberapa kelompok sarjana yang konsern dalam perbincangan pertahanan negara juga hadir dalam forum tersebut. Bisa jadi begini karena seusai kangen-kangenan mereka mengikuti seminar yang memang mereka diundang untuk mengikuti seminar.
Pak Heru Sudibyo sebagai sesepuh didampingi oleh para mantan Wadanmen dan staf Skomen serta perwakilan dari berbagai wilayah, seperti Jember, Malang, Kediri dan Madiun serta Surabaya menandatangani naskah deklarasi di podium mimbar depan setelah dibacakan naskah deklarasinya oleh Pak Heru Sudibyo. Begitu mulai penandatangan oleh masing-masing perwakilan, hadirin diminta berdiri dan semua menyanyikan lagu tanah airku yang diiringi oleh elektone dan penyanyinya yang khusus didatangkan untuk acara kangen-kangenan.

Forum ini sesuai naskah yang dibacakan memiliki tujuan yang mulia dan lumayan berat, yaitu bertujuan pertama, untuk membina, membangun dan mengembangkan serta menggalang kekuatan komponen cadangan pertahanan negara dalam rangka memperkuat sistem pertahanan negara Indonesia, kedua, untuk menjalin komunikasi dan informasi antar unsur komponen cadangan pertahanan negara dan komponen-komponen pertahanan negara lainnya. Forum ini beranggotakan seluruh kekuatan komponen cadangan nasional yang sudah ada dan akan dibentuk berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku secara sukarela dan tidak bersifat politik.

Ketika dikomentari beberapa orang bahwa forum tersebut tidak bersifat politik, namun kenyataannya sarat dengan aroma politik, maka sebagian teman yang lain dan pemrakarsa menyatakan memang forum tersebut tidak bersifat politik dan keanggotaannya sukarela, akan tetapi untuk masing-masing anggota secara orang-perorangan boleh-boleh saja dan dipersilakan menentukan pilihan politiknya dan hal itu dihargai dalam forum tersebut.

Memang menarik juga untuk dikaji bahwa forum yang dibentuk dengan tujuan bukan politik tapi diparkarsai dalam suasana yang sarat dengan warna politik. Pemilihan Gubernur Jatim yang segera di laksanakan memang dapat saja menggelinding dalam forum yang baru saja dibidani. Beberapa orang memang dengan secara terbuka mendukung salah satu calon yang diusung oleh parpol tertentu, dengan meneriakkan yel-yel sebelum deklarasi dimulai.
Syukur ketika pelaksanaan deklarasi dan memasuki pelaksanaan seminar yang masuk setelah jam 13,00 siang, yel-yel semacam itu sudah tidak ada lagi, bahkan pembicaraan seminar serasa sangat gayeng sesuai topik yang diangkat yaitu Pemberdayaan Sumber Daya Nasional di Jawa Timur bagi Pertahanan Negara. Menghadirkan nara sumber dari Dephan dan Pemprop Jatim yaitu Laksma TNI Fadjar Sampurno, M.Sc Sesditjen Pothan Dephan dan Dr. H. Soenaryo, M.Si. yang mewakili Jawa Timur.
Kehadiran Pak Naryo ini memang sempat dipersoalkan oleh beberapa peserta sekalipun tidak secara terbuka di forum seminar, karena beliaunya adalah calon gubernur yang akan maju pada Pilgub 2008 ini. Namun buru-buru dijawab oleh temen-temen yang lainnya bahwa kehadiran Pak Naryo adalah mewakili Pemprop menyangkut kebijakan apa yang akan dilakukan terhadap sumber daya nasional yang ada di Jawa Timur untuk pertahanan negara. Apakah ini tidak berarti kita benar-benar sudah ditumpangi untuk kepentingan politik untuk pilgub 2008. Jawab mereka bisa jadi naggak juga bisa jadi iya, tergantung bagaimana isi seminar dan apa yang disamapaikan pada seminar nanti. Kalau memang iya, tenyata kita sudah melangkah maju mau membentuk forum yang dapat memwadahi komponen yang terbengkelai ini, akan tetapi kalau tidak kita masih memiliki banyak pilihan untuk pilgub yang akan datang. Jadi kita mesti berpikir rasional, dalam hal ini. Tidak terlalu ambil pusing siapa menumpangi siapa atau siapa ditumpangi siapa. Karena momentum langka semacam itu memang juga hal langka dan tentu juga memerlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Jangan-jangan ada yang bilang salah siapa gak mau memberdayakan potensi sumber daya yang sudah terbentuk ini??!

Lepas dari kontroversi itu, ternyata saat seminar dilaksanakan antusisme peserta cukup tinggi, ini terbukti dari banyak peserta yang angkat bicara untuk mempertanyakan berbagai hal menyangkut kebijakan pertahanan negara di daerah. Ka Bakesbanglinmas sendiri mewakili Gubernur yang membuka seminar sangat berharap bahwa seminar memperoleh hasil yang diharapkan, karena diakui potensi besar di Jawa Timur belum termanfaatkan dan diberdayakan secara optimal untuk kepentingan pertahanan negara. Setelah dihapusnya hansip dan diganti linmas maka potensi-potensi sumber daya manusia pertahanan negara di Jawa Timur semakin tidak jelas pembinaan dan pengawasannya. Pemerintah propinsi tidak bisa berbuat banyak karena kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang dikeluarkan Depdagri malai dari pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan membelenggu daerah untuk dapat memperhatikan dan memberdayakan potensi pertahanan yang ada.

Sementara itu dalam sesion penyampaian makalah seminar oleh Sesditjen Pothan Dephan diuraikan tentang bagaimana kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan dan manajemen sumber daya pertahanan di Indonesia. Berdasarkan UU pertahanan negara dijelaskan berbagai hal menyangkut peran pemerintah dalam pemberdayaan, pembinaan dan penggunaan sumber daya pertahanan negara baik oleh komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung. Memang penjelasan bapak yang satu ini nampak sekali normatif dan textbook, sehingga belum ditemukan apa dan bagaimana pertahanan negara dengan potensi dan sumber daya yang ada di daerah semacam komoponen-komponen lain yang UU-nya belum ada.

Kemudia penjelasan dari nara sumber kedua, Pak Naryo lebih melihat pada aspek-aspek yang dihadapi daerah saat ini bahwa potensi daerah yang sangat besar untuk mendukung pertahanan negara tidak didukung oleh peragkat peraturan yang memadai oleh pemerintah pusat sehingga daerah tidak bisa berbuat apa-apa. Harapannya adalah minta ada penegasan peran yang akan dilakukan oleh daerah dalam konteks pertahanan negara.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, terdapat pertanyaan yang cukup menarik menyangkut potensi para petani yang sangat terabaikan saat ini dimana ia merupakan komponen pendukung dan kehadirannya sangat besar bagi pertahanan negara. Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah jika kondisi tersebut terus berlanjut. Kemudian, ada pertanyaan dari alumni Menwa IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyangkut biaya Diklatsar Menwa dimana mereka harus membiayai sendiri dan cukup mahal, sementara pemerintah tidak mau membantu.
Pertanyaan yang sangat mengena disampaikan oleh Alumni dari Unair bahwa menurutnya peran Dephan saat ini adalah sumir. Dephan tidak berani mengambil sikap seperti Departemn lain untuk menegaskan dan menjelaskan fungsi pemerintahan yang diemban di bidang pertahnan negara. Kalau Depdagri saja aktif menghidupkan forum ditingkat daerah seperti Fokominda dan Forum Komunikasi Ketahanan Dini, juga Polri dengan kemitraannya dengan masyarakat, justru Dephan masih berkutat pada persoalan struktural dan persoalan normatif. Dephan takut mengambil sikap dengan koridor-koridor yang tidak jelas, sementara potensi pertahanan di tingkat bawah sudah sedemikian amburadul dan tidak solid. Juga pertanyaan disampaikan oleh alumni dari Unibraw yang melihat bahwa lemahnya peran daerah disebabkan oleh tidak tanggapnya kebijakan pusat untuk memberdayakan daerah dalam pertahanan negara. Depdagri membelenggu daerah-daerah yang hanya ngurusi persoalan teknis administratif dan sehingga hilangnya kreativitas daerah untuk mengopeni sumber daya yang ada, sementara Dephan tidak sanggup berbuat apa-apa kerena kendala normatif strukturalnya. Mengatasnamakan forum komponen cadangan mendesak Dephan untuk mendesak ke Depdagri agar memberi ruang daerah dapat melakukan pembinaan atas potensi yang ada, dan siap mem-back up Dephan secara kultural di daerah untuk pemberdayaan sumber daya pertahanan di daerah

DISORIENTASI APLIKASI KONSEP PERTAHANAN NEGARA DI DAERAH

Reformasi sudah bergulir dalam kurun satu dasa warsa. Dalam konteks pertahanan negara selama sepuluh tahun terakhir ditandai beberapa momentum strategis mulai dengan amandemen UUD 1945 yang memisahkan TNI dan kepolisian, yang kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa UU seperti UU rakyat terlatih, UU Pertahanan Negara, UU Kepolisian dan UU TNI. Namun juga masih ada beberapa rancangan UU lainnya yang terseok-seok belum memperoleh persetujuan parlemen, bahkan melahirkan kontroversi di masyarakat, tekanan kelompok pembela hak asasi manusia dan perdebatan antar institusi pemerintahan. Hal terakhir tersebut antara lain RUU intelijen, RUU kemanan nasional dan RUU komponen cadangan. Tidak saja di situ, ternyata untuk menerapkan UU yang sudah dibuat juga menimbulkan polemik yang berkepanjangan misalnya wajib militer untuk usia tertentu sebagai komponen cadangan.
Lepas dari persoalan kontroversial di atas, sebenarnya perwujudan amanat konstitusi dalam hak dan kewajiban warga negara terhadap pembelaan negara dan pertahanan negara lebih penting dan mendesak di tengah-tengah makin runtuh dan merosotnya semangat kebangsaan dan nasionalisme. Oleh sebab itulah, ketika ancaman fisik bersenjata baik dari dalam maupun luar negeri tidak secara nyata nampak, maka bagaimanakah mengaplikasikan konsep pertahanan negara tersebut sehingga tidak kehilangan makna hakekatnya sebagaimana sudah disepakati bersama. Diakui memang dari beberapa UU yang sudah terbentuk, belum semuanya ditindaklanjuti dengan peraturan perundangan di bawahnya. Permasalahan itu tidak seharusnya menjadi kendala bagi setiap warga negara dan semua potensi sumber daya nasional untuk turut serta menggunakan hak dan kewajiban dalam pembelaan negara. Namun kondisi semacam ini, berdampak luas pada berbagai macam kebijakan nasional baik departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan negara maupun pada lintas departemen hingga pada level pemerintahan daerah.
Di tingkat lokal yang jauh dari haru birunya pergulatan kepentingan di tingkat nasional dapat dirasakan betapa tidak menariknya membicarakan apa dan harus bagaimana mengaplikasikan konsep pertahanan negara tersebut. Sudah menjadi pembicaraan umum bahwa permasalahan dan urusan menyangkut pertahanan negara menjadi bagian dari otoritas pemerintah pusat. Karena itu daerah tidak perlu turut campur untuk melakukan kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kewenangannya tersebut.
Memang UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara tidak terlalu banyak memberikan ruang yang memungkinkan pemerintah daerah berperan secara lebih spesifik dan nyata. Koordinasi dengan pemerintah daerah oleh institusi pemerintah di bidang pertahanan baru akan terjadi dalam menanggulangi ancaman-ancaman yang bersifat dan berbentuk non militer. Satu hal yang memungkinkan daerah secara proporsional terlibat dalam usaha pertahanan negara adalah dalam bentuk aktivitas pembinaan kemampuan pertahanan. Pemerintah daerah dalam proses kegiatan pembangunannya harus senantiasa memperhatikan pembinaan kemampuan pertahanan. Hanya saja karena pemerintah pusat belum menindaklanjutinya dengan peraturan pemerintah seperti yang diamanatkan UU tersebut, daerah tidak memiliki pedoman yang jelas harus melakukan apa dalam praktek penyelenggaraan pembangunan. Disinilah sebabnya mengapa orientasi terhadap konsep pertahanan negara menjadi rancu di daerah.
Dalam konteks negara kesatuan tentu tidak mungkin pemerintah daerah menghindarkan diri dari amanat UU tersebut. Demikian pula dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, pemerintah daerah dituntut jeli dan kreatif menempatkan kebijakan pertahanan negara sebagai bagian strategi dari perencanaan pembangunan di daerahnya.

Pertahanan Negara, Makin Eksklusif ?
Ketika orde baru menempatkan kekuatan-kekuatan pertahanan negara sebagai alat pemerintah yang berhadapan dengan rakyat, maka orang merasa sulit menjangkau dan ada jarak di antara keduanya. Tetapi kini ketika peran itu sudah ditiadakan, mengapa aplikasi konsep pertahanan negara justru sama juga seperti dulu, sekalipun dengan suasana berbeda, atau paling tidak masih jauh dari yang diharapkan. Konsep pertahanan negara dalam bentuk kesadaran individul dan kolektif serta perwujudan nyata komponen-komponen bangsa makin susah didapatkan, tidak jelas dan tidak terarah. Sehingga kita merasa asing dengan kesepakatan (konstitusi) kita sendiri dalam pertahanan dan pembelaan negara.
Ada satu alasan mengapa konsepsi pertahanan negara menjadi asing dan dikesankan cenderung eksklusif. Anggapan yang umum terjadi adalah pertahanan negara hanya urusan tentara atau militer karena menyangkut adanya ancaman militer atau kelompok bersenjata dari negara asing. Karena hanya urusan tentara, maka birokrasi sipil jauh dan berusaha menjauh dari urusan tersebut. Apalagi pemerintahan di tingkat daerah sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pusat, tentu lebih susah menjangkau pelaksanaan konsepsi pertahanan negara tersebut.
Bagi warga negara keterasingan atas konsep pertahanan negara sungguh memprihatinkan. Karena pertahanan negara sebenarnya tidak semata-mata menjadi bagian dari urusan dan fungsi pemerintah, melainkan secara hakiki sebenarnya merupakan bagian dari urusan warga negara. Pertahanan negara menyangkut kepentingan warga negara untuk melakukan pembelaan negara dimana ia hidup, tinggal dan mencari penghidupan. Sehingga serasa aneh juga ketika banyak kelompok masyarakat dan aparat pemerintah menganggap asing terhadap upaya pertahanan negara.
Boleh saja memberikan tanggung jawab tersebut semata ke pundak tentara sebagai komponen utama pertahanan, dengan alasan karena TNI adalah tentara profesional, tentara pejuang dan tentara nasional. Namun mesti diingat bahwa dalam eskalasi potensi ancaman non militer yang makin besar dan jika hal itu tidak mau dimengerti oleh banyak kalangan, suatu waktu kita akan terkaget-kaget menerima ancaman tersebut menjadi kenyataan. Tidak fair menyalahkan persoalan itu hanya kepada tentara, sementara TNI di hadapkan pada keterbatasan-keterbatasannya.
Memasuki era reformasi memang terdapat pemisahan secara diametral terhadap urusan-urusan pertahanan negara dengan fungsi-fungsi pemerintahan sipil baik di pusat maupun di daerah. Rangkaian perundang-undangan di bidang pertahanan dan keamanan produk reformasi hingga kini masih sangat jelas dimonopoli oleh pemikiran traumatik masa lalu atas peran militer dengan pendekatan keamanan dalam proses pembangunan. Sehingga hal ini menjadi salah satu alasan kenapa beberapa rancangan UU memperoleh perlawanan yang cukup kuat di masyarakat. Bahkan karena penolakan itu pula tindak lanjut beberapa UU yang sudah disetujui DPR tidak mengalami kemajuan dan cenderung jalan di tempat.
Kondisi seperti di atas yang mendorong semakin jauh atas pemahaman publik terhadap penting dan strategisnya pertahanan negara bagi kepentingan eksistensi negara dan bernegara. Ditambah pula karena belum ditindaklanjutinya beberapa kebijakan berkaitan dengan peraturan perundangan di bidang pertahanan negara oleh pemerintah. Contoh yang paling aktual, adalah dengan dihapuskannya organisasi pertahanan sipil dalam lingkup Depdagri yang kemudian ditegaskan dengan membentuk Linmas namun tanpa dukungan sosialisasi yang cukup memberi beban tambahan semakin menambah jarak pemahaman publik atas konsep pertahanan negara. Apalagi pembentukan Linmas tersebut tidak disertai dengan upaya pembentukan organ pengganti Wanra.
Sebab itulah bisa dimengerti kenapa konsep pertahanan negara tidak saja eksklusif di mata masyarakat banyak, akan tetapi juga asing bagi perangkat pemerintah di daerah. Urusan pertahanan negara sebagai urusan pemerintah pusat dan bersifat vertikal, daerah cukup mengurusi bidang lain yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat.

The Law Trap
Munculnya pemikiran dan pemahaman di atas sebenarnya tidak terlepas dengan lahirnya beberapa UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca reformasi, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sekalipun terdapat UU tentang Pertahanan Negara yang memungkinkan daerah harus mempedomani, masih terdapat UU Pemda yang mengatur operasionalisasi pemerintahan di tingkat daerah. Tentu saja, UU Pemda tersebut akan berlaku secara khusus (lex spesialis) dari pada UU lain yang berlaku secara umum (lex generalis).
Dalam UU pemerintahan daerah tersebut secara tegas dijelaskan bahwa terdapat 4 macam kewenangan atau urusan yang tidak diserahkan kepada daerah. Beberapa kewenangan masih menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat, yaitu kewenangan di bidang pertahanan, perbankan, keuangan, dan agama. Kemudian ditambah lagi kewenangan di bidang agraria (sekalipun dilimpahkan kepada daerag oleh UU tahun 1999 tapi ditarik kembali ke pusat dengan Perpres pada tahun 2001).
Bagi pandangan daerah, penegasan UU tersebut dimaknai bahwa keempat kewenangan atau urusan tersebut dianggap tabu untuk disentuh. Bagi daerah yang menjadi patokan adalah yang bersangkutan hanya akan mengurus kewenangan atau urusan yang benar-benar dilimpahkan. Artinya daerah tidak mungkin mengurus kewenangan yang jelas tidak dilimpahkan. Sehingga daerah tidak perlu cawe-cawe dalam hal tersebut karena memang bukan bagian dari kewenangannya.
Pada dasarnya setiap kewenangan atau otoritas yang dilimpahkan ke daerah tersedia hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Karena itu sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan tersebut daerah harus dapat menunjukkan pertanggungjawabannya. Pada situasi seperti sekarang ini, tidak mungkin daerah melakukan suatu urusan tanpa ada kewenangan yang dilimpahkan. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi siapa saja yang melaksanakan suatu kewenangan atau urusan tersebut yang bukan bagian dari kewenangannya.
Selain itu, menurut UU pemda tersebut kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah terbagi dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berarti ada kewajiban bagi daerah untuk melaksanakan segala urusan yang dilimpahkan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, perencanaan, tata ruang dan pelayanan publik. Sedangkan urusan pilihan dilaksanakan berdasarkan potensi dan sumber daya daerah serta kemampuan daerah untuk menggali dan memanfaatkan, seperti pertanian, perikanan, kelautan dan sebagainya. Sehingga jelas kewenangan yang menyangkut pertahanan negara sama sekali tidak disebutkan dalam urusan wajib maupun pilihan yang diserahkan kepada daerah.
Memang betul bahwa karena bukan kewenangan daerah, langkah yang bisa dilakukan oleh pemegang otoritas bidang pertahanan negara di daerah adalah koordinasi. Semisal dalam rangka penataan ruang wilayah, perencanaan daerah dan ketersediaan pangan. Pertanyaannya adalah masih efektifkah koordinasi tersebut dapat dilakukan. Tentu masih sangat diragukan efektivitas koordinasi tersebut bagi pertimbangan setiap daerah menjadikan variabel pertahanan negara dalam pengambilan kebijakan mereka. Jebakan UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah masih belum menyentuh substansi persoalan pertahanan negara, terutama dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pertegas Peran Daerah
Keterlibatan dan peran daerah dalam kerangka pertahanan negara pada dasarnya adalah untuk meningkatkan pembinaan kemampuan pertahanan negara dan wilayah. Oleh sebab itu, apa yang bisa dilakukan oleh daerah dalam kondisi yang belum memungkinkan tersebut harus dipertegas dan diperjelas. Tersedia ruang yang memungkinkan daerah dapat mengambil bagian dengan peran dan porsi yang jelas. Selain itu adanya peraturan pelaksanaan yang tidak tumpang tindih sebagai payung hukum yang memberi jaminan dan batasan diskresi pemerintahan di tingkat lokal. Batasan ini penting karena menetapkan seberapa besar tanggungjawab masing-masing pihak dalam ikut serta memperkokoh aplikasi konsep pertahanan negara yang memang sudah disepakati. diperlukan juga komitmen pemerintah dan potensi sumber daya lokal.

Ayo Gabung, Rekan!

Memasuki usia 100 tahun kebangkitan nasional dan dalam rangka memperingati Ulang Tahun Menwa Mahasurya Jawa Timur ke-44 pada 1 Juni 2008, beberapa orang yang pernah tergabung dalam Staf Komando Resimen Mahasiswa Mahasurya Jawa Timur pada satu dasa warsa yang lalu (atau bahkan lebih, era 1990-an) berkumpul dan memandang perlu membuat forum yang menegaskan tentang perhatiannya di bidang pertahanan negara. Secara klandestein, sebenarnya acara kumpul-kumpul itu sendiri sudah lama dan sering dilakukan dengan tempat dan materi diskusi yang berbeda. Hanya baru kali ini, rekan-rekan dengan terpaksa dan harus rela mempublikasikan kegiatannya dengan konsen di bidang pertahanan negara tersebut.

Semata karena memang, entah hal ini sebagai tuntutan atau memang fenomena bersama bahwa kalau tidak nampak ada (dimunculkan) maka dianggap tidak ada dan tentunya akan semakin diabaikan dan dicampakkan. Karena itu, dengan sedikit berat hati melalui forum ini berusaha untuk menunjukkan ide dan sebagian gagasan yang pernah dibicarakan dan diungkapkan. Tentu tidak ada maksud untuk menciptakan eksklusifisme dan keangkuhan dalam berpendapat. Justru sebaliknya kami dan juga semua warga bangsa yang berminat dengan forum ini, dengan tulus ingin memberikan sumbang pemikiran yang diharapkan akan makin memperkaya khasanah pemikiran dan cara pandang kita bersama dalam pembelaan negara dan pertahanan negara. Ketika banyak orang merasa terasing di negeri sendiri maka semua yang memiliki konsen dalam bidang pembelaan negara dan pertahanan negara merasa perlu menjalin kembali silaturahmi harus apa dan mau bagaimana dalam berbangsa dan bernegara ini.

Hanya kebetulan saja jika beberapa hari yang lalu, pemerintah melalui presiden berkehendak untuk membuat dan mendirikan sekolah atau universitas pertahanan. Forum ini sama sekali tiidak ada kaitannya dengan gagasan presiden tersebut. Namun mungkin ada kesamaan dalam melihat tentang keprihatinannya atas minimnya kesadaran bela negara dan pertahanan negara di antara sesama warga bangsa.

Selain itu, sebenarnya forum-forum yang mewadahi kegiatan semacam ini memang cukup bervariasi, namun keterbatasan bagaimana mengkomunikasikan (bukan keterbatasan sarana komunikasi) kadang menjadi penghambat dan alasan sehingga rangkaian ide dan gagasan baru itu tidak nyambung dan tidak tersampaikan. Oleh karena itu, dalam tahapan ini keterpaksaan tersebut bergerak menjadi suatu kewajiban untuk mempublikasikan forum semacam ini. Apalagi ternyata sebagian rekan yang lain tidak saja berharap, lebih dari itu sebenarnya ada yang mendesak dengan sedikit memaksa untuk segera mempublikasikan forum seperti ini. Harapannya publikasi semacam ini dapat menjadi jembatan untuk merangkai kembali ide, pikiran dan komitmen setiap orang dari yang mengaku warga negara Indonesia dalam berbicara mengenai pertahanan negara dan bela negara.

Terima kasih. Selamat Bergabung dan Salam Kenal.