Senin, 09 Juni 2008

DISORIENTASI APLIKASI KONSEP PERTAHANAN NEGARA DI DAERAH

Reformasi sudah bergulir dalam kurun satu dasa warsa. Dalam konteks pertahanan negara selama sepuluh tahun terakhir ditandai beberapa momentum strategis mulai dengan amandemen UUD 1945 yang memisahkan TNI dan kepolisian, yang kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa UU seperti UU rakyat terlatih, UU Pertahanan Negara, UU Kepolisian dan UU TNI. Namun juga masih ada beberapa rancangan UU lainnya yang terseok-seok belum memperoleh persetujuan parlemen, bahkan melahirkan kontroversi di masyarakat, tekanan kelompok pembela hak asasi manusia dan perdebatan antar institusi pemerintahan. Hal terakhir tersebut antara lain RUU intelijen, RUU kemanan nasional dan RUU komponen cadangan. Tidak saja di situ, ternyata untuk menerapkan UU yang sudah dibuat juga menimbulkan polemik yang berkepanjangan misalnya wajib militer untuk usia tertentu sebagai komponen cadangan.
Lepas dari persoalan kontroversial di atas, sebenarnya perwujudan amanat konstitusi dalam hak dan kewajiban warga negara terhadap pembelaan negara dan pertahanan negara lebih penting dan mendesak di tengah-tengah makin runtuh dan merosotnya semangat kebangsaan dan nasionalisme. Oleh sebab itulah, ketika ancaman fisik bersenjata baik dari dalam maupun luar negeri tidak secara nyata nampak, maka bagaimanakah mengaplikasikan konsep pertahanan negara tersebut sehingga tidak kehilangan makna hakekatnya sebagaimana sudah disepakati bersama. Diakui memang dari beberapa UU yang sudah terbentuk, belum semuanya ditindaklanjuti dengan peraturan perundangan di bawahnya. Permasalahan itu tidak seharusnya menjadi kendala bagi setiap warga negara dan semua potensi sumber daya nasional untuk turut serta menggunakan hak dan kewajiban dalam pembelaan negara. Namun kondisi semacam ini, berdampak luas pada berbagai macam kebijakan nasional baik departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan negara maupun pada lintas departemen hingga pada level pemerintahan daerah.
Di tingkat lokal yang jauh dari haru birunya pergulatan kepentingan di tingkat nasional dapat dirasakan betapa tidak menariknya membicarakan apa dan harus bagaimana mengaplikasikan konsep pertahanan negara tersebut. Sudah menjadi pembicaraan umum bahwa permasalahan dan urusan menyangkut pertahanan negara menjadi bagian dari otoritas pemerintah pusat. Karena itu daerah tidak perlu turut campur untuk melakukan kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kewenangannya tersebut.
Memang UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara tidak terlalu banyak memberikan ruang yang memungkinkan pemerintah daerah berperan secara lebih spesifik dan nyata. Koordinasi dengan pemerintah daerah oleh institusi pemerintah di bidang pertahanan baru akan terjadi dalam menanggulangi ancaman-ancaman yang bersifat dan berbentuk non militer. Satu hal yang memungkinkan daerah secara proporsional terlibat dalam usaha pertahanan negara adalah dalam bentuk aktivitas pembinaan kemampuan pertahanan. Pemerintah daerah dalam proses kegiatan pembangunannya harus senantiasa memperhatikan pembinaan kemampuan pertahanan. Hanya saja karena pemerintah pusat belum menindaklanjutinya dengan peraturan pemerintah seperti yang diamanatkan UU tersebut, daerah tidak memiliki pedoman yang jelas harus melakukan apa dalam praktek penyelenggaraan pembangunan. Disinilah sebabnya mengapa orientasi terhadap konsep pertahanan negara menjadi rancu di daerah.
Dalam konteks negara kesatuan tentu tidak mungkin pemerintah daerah menghindarkan diri dari amanat UU tersebut. Demikian pula dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, pemerintah daerah dituntut jeli dan kreatif menempatkan kebijakan pertahanan negara sebagai bagian strategi dari perencanaan pembangunan di daerahnya.

Pertahanan Negara, Makin Eksklusif ?
Ketika orde baru menempatkan kekuatan-kekuatan pertahanan negara sebagai alat pemerintah yang berhadapan dengan rakyat, maka orang merasa sulit menjangkau dan ada jarak di antara keduanya. Tetapi kini ketika peran itu sudah ditiadakan, mengapa aplikasi konsep pertahanan negara justru sama juga seperti dulu, sekalipun dengan suasana berbeda, atau paling tidak masih jauh dari yang diharapkan. Konsep pertahanan negara dalam bentuk kesadaran individul dan kolektif serta perwujudan nyata komponen-komponen bangsa makin susah didapatkan, tidak jelas dan tidak terarah. Sehingga kita merasa asing dengan kesepakatan (konstitusi) kita sendiri dalam pertahanan dan pembelaan negara.
Ada satu alasan mengapa konsepsi pertahanan negara menjadi asing dan dikesankan cenderung eksklusif. Anggapan yang umum terjadi adalah pertahanan negara hanya urusan tentara atau militer karena menyangkut adanya ancaman militer atau kelompok bersenjata dari negara asing. Karena hanya urusan tentara, maka birokrasi sipil jauh dan berusaha menjauh dari urusan tersebut. Apalagi pemerintahan di tingkat daerah sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pusat, tentu lebih susah menjangkau pelaksanaan konsepsi pertahanan negara tersebut.
Bagi warga negara keterasingan atas konsep pertahanan negara sungguh memprihatinkan. Karena pertahanan negara sebenarnya tidak semata-mata menjadi bagian dari urusan dan fungsi pemerintah, melainkan secara hakiki sebenarnya merupakan bagian dari urusan warga negara. Pertahanan negara menyangkut kepentingan warga negara untuk melakukan pembelaan negara dimana ia hidup, tinggal dan mencari penghidupan. Sehingga serasa aneh juga ketika banyak kelompok masyarakat dan aparat pemerintah menganggap asing terhadap upaya pertahanan negara.
Boleh saja memberikan tanggung jawab tersebut semata ke pundak tentara sebagai komponen utama pertahanan, dengan alasan karena TNI adalah tentara profesional, tentara pejuang dan tentara nasional. Namun mesti diingat bahwa dalam eskalasi potensi ancaman non militer yang makin besar dan jika hal itu tidak mau dimengerti oleh banyak kalangan, suatu waktu kita akan terkaget-kaget menerima ancaman tersebut menjadi kenyataan. Tidak fair menyalahkan persoalan itu hanya kepada tentara, sementara TNI di hadapkan pada keterbatasan-keterbatasannya.
Memasuki era reformasi memang terdapat pemisahan secara diametral terhadap urusan-urusan pertahanan negara dengan fungsi-fungsi pemerintahan sipil baik di pusat maupun di daerah. Rangkaian perundang-undangan di bidang pertahanan dan keamanan produk reformasi hingga kini masih sangat jelas dimonopoli oleh pemikiran traumatik masa lalu atas peran militer dengan pendekatan keamanan dalam proses pembangunan. Sehingga hal ini menjadi salah satu alasan kenapa beberapa rancangan UU memperoleh perlawanan yang cukup kuat di masyarakat. Bahkan karena penolakan itu pula tindak lanjut beberapa UU yang sudah disetujui DPR tidak mengalami kemajuan dan cenderung jalan di tempat.
Kondisi seperti di atas yang mendorong semakin jauh atas pemahaman publik terhadap penting dan strategisnya pertahanan negara bagi kepentingan eksistensi negara dan bernegara. Ditambah pula karena belum ditindaklanjutinya beberapa kebijakan berkaitan dengan peraturan perundangan di bidang pertahanan negara oleh pemerintah. Contoh yang paling aktual, adalah dengan dihapuskannya organisasi pertahanan sipil dalam lingkup Depdagri yang kemudian ditegaskan dengan membentuk Linmas namun tanpa dukungan sosialisasi yang cukup memberi beban tambahan semakin menambah jarak pemahaman publik atas konsep pertahanan negara. Apalagi pembentukan Linmas tersebut tidak disertai dengan upaya pembentukan organ pengganti Wanra.
Sebab itulah bisa dimengerti kenapa konsep pertahanan negara tidak saja eksklusif di mata masyarakat banyak, akan tetapi juga asing bagi perangkat pemerintah di daerah. Urusan pertahanan negara sebagai urusan pemerintah pusat dan bersifat vertikal, daerah cukup mengurusi bidang lain yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat.

The Law Trap
Munculnya pemikiran dan pemahaman di atas sebenarnya tidak terlepas dengan lahirnya beberapa UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca reformasi, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sekalipun terdapat UU tentang Pertahanan Negara yang memungkinkan daerah harus mempedomani, masih terdapat UU Pemda yang mengatur operasionalisasi pemerintahan di tingkat daerah. Tentu saja, UU Pemda tersebut akan berlaku secara khusus (lex spesialis) dari pada UU lain yang berlaku secara umum (lex generalis).
Dalam UU pemerintahan daerah tersebut secara tegas dijelaskan bahwa terdapat 4 macam kewenangan atau urusan yang tidak diserahkan kepada daerah. Beberapa kewenangan masih menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat, yaitu kewenangan di bidang pertahanan, perbankan, keuangan, dan agama. Kemudian ditambah lagi kewenangan di bidang agraria (sekalipun dilimpahkan kepada daerag oleh UU tahun 1999 tapi ditarik kembali ke pusat dengan Perpres pada tahun 2001).
Bagi pandangan daerah, penegasan UU tersebut dimaknai bahwa keempat kewenangan atau urusan tersebut dianggap tabu untuk disentuh. Bagi daerah yang menjadi patokan adalah yang bersangkutan hanya akan mengurus kewenangan atau urusan yang benar-benar dilimpahkan. Artinya daerah tidak mungkin mengurus kewenangan yang jelas tidak dilimpahkan. Sehingga daerah tidak perlu cawe-cawe dalam hal tersebut karena memang bukan bagian dari kewenangannya.
Pada dasarnya setiap kewenangan atau otoritas yang dilimpahkan ke daerah tersedia hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Karena itu sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan tersebut daerah harus dapat menunjukkan pertanggungjawabannya. Pada situasi seperti sekarang ini, tidak mungkin daerah melakukan suatu urusan tanpa ada kewenangan yang dilimpahkan. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi siapa saja yang melaksanakan suatu kewenangan atau urusan tersebut yang bukan bagian dari kewenangannya.
Selain itu, menurut UU pemda tersebut kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah terbagi dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berarti ada kewajiban bagi daerah untuk melaksanakan segala urusan yang dilimpahkan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, perencanaan, tata ruang dan pelayanan publik. Sedangkan urusan pilihan dilaksanakan berdasarkan potensi dan sumber daya daerah serta kemampuan daerah untuk menggali dan memanfaatkan, seperti pertanian, perikanan, kelautan dan sebagainya. Sehingga jelas kewenangan yang menyangkut pertahanan negara sama sekali tidak disebutkan dalam urusan wajib maupun pilihan yang diserahkan kepada daerah.
Memang betul bahwa karena bukan kewenangan daerah, langkah yang bisa dilakukan oleh pemegang otoritas bidang pertahanan negara di daerah adalah koordinasi. Semisal dalam rangka penataan ruang wilayah, perencanaan daerah dan ketersediaan pangan. Pertanyaannya adalah masih efektifkah koordinasi tersebut dapat dilakukan. Tentu masih sangat diragukan efektivitas koordinasi tersebut bagi pertimbangan setiap daerah menjadikan variabel pertahanan negara dalam pengambilan kebijakan mereka. Jebakan UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah masih belum menyentuh substansi persoalan pertahanan negara, terutama dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pertegas Peran Daerah
Keterlibatan dan peran daerah dalam kerangka pertahanan negara pada dasarnya adalah untuk meningkatkan pembinaan kemampuan pertahanan negara dan wilayah. Oleh sebab itu, apa yang bisa dilakukan oleh daerah dalam kondisi yang belum memungkinkan tersebut harus dipertegas dan diperjelas. Tersedia ruang yang memungkinkan daerah dapat mengambil bagian dengan peran dan porsi yang jelas. Selain itu adanya peraturan pelaksanaan yang tidak tumpang tindih sebagai payung hukum yang memberi jaminan dan batasan diskresi pemerintahan di tingkat lokal. Batasan ini penting karena menetapkan seberapa besar tanggungjawab masing-masing pihak dalam ikut serta memperkokoh aplikasi konsep pertahanan negara yang memang sudah disepakati. diperlukan juga komitmen pemerintah dan potensi sumber daya lokal.